Senin, 15 Juni 2015


Tersingkirnya Makanan Tradisional oleh Makanan Cepat Saji

Semakin berkembangnya teknologi dan pengaruh globalisasi membuat pola pikir masyarakat berubah dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat lokal dengan mudahnya menerima budaya dari luar negeri termasuk dalam pemilihan makan. Masyarakat lokal lebih memilih makan makanan di tempat modern. Masyarakat lokal menganggap makan makanan tradisional adalah kuno dan ketinggalan zaman. Masyarakat lokal lebih bangga dengan budaya asing dibandingkan budaya lokal termasuk dalam hal pemilihan makanan (Rahmawaty & Maharani, n.d.). Oleh karena itu, keberadaan makanan tradisional semakin tersingkir oleh makanan cepat saji.

Makanan tradisional merupakan makanan yang menyehatkan dan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Makanan tradisional merupakan makanan yang tinggi akan protein, karbohidrat, serat tetapi rendah kalori. Makanan tradisional diolah dengan cara yang tradisional juga, masih jarang yang menggunakan teknologi modern. Karena belum menggunakan teknologi modern maka dalam pengolahan membutuhkan waktu yang lama dan dalam hal penyajian juga tidak menarik.

Makanan cepat saji semakin menjamur di kalangan masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat sepanjang jalan banyak restoran makanan cepat saji berdiri dengan megahnya. Masyarakat lokal lebih memilih makan makanan di restoran makanan cepat saji. Alasan masyarakat memilih makan di restoran cepat saji adalah efisien dalam hal waktu, khususnya bagi kalangan yang memiliki waktu terbatas untuk makan (Mufidah, 2006). Selain alasan waktu, alasan sosial juga berpengaruh. Bagi masyarakat lokal yang bisa makan di restoran cepat saji akan memiliki rasa bangga, sombong, atau lebih singkatnya memiliki nilai prestise tersendiri. Masyarakat lokal menganggap jika masyarakat lokal makan di restoran cepat saji maka akan dianggapsebagai orang kaya. Masyarakat lokal memiliki anggapan tersebut karena dapat makan dan bersantai di restoran milik luar negeri.

Makanan cepat saji dengan makanan tradisional memiliki perbedaan yang mencolok. Misalnya dalam hal publikasi. Untuk makan cepat saji dipublikasikan pada berbagai macam media elektronik maupun non elektronik dan ditampilkan dengan sangat menarik. Sedangkan untuk makanan tradisional dipublikasikan oleh Tv yang secara khusus meliput makanan tradisional dari suatu daerah. Jadi, tidak seperti publikasi makanan cepat saji yang ada dimana-mana dan kapanpun ditayangkan. Kemudian penyajian makanan cepat saji juga lebih menarik dibandingkan makanan tradisional. Hal ini disebabkan makanan cepat saji diolah dengan menggunakan teknologi modern dan dalam waktu yang tidak lama.

Makanan cepat saji dapat membahayakan kesehatan. Makanan cepat saji merupakan makanan yang disajikan secara cepat dengan menggunakan teknologi yang maju dan ditambah dengan pengawet (Kompasiana 2013). Kandungan gizi pada makanan cepat saji berbanding terbalik dengan kandungan gizi pada makanan tradisional (Emilia & Pendahuluan, 2009). Dalam makanan cepat saji terdapat tingginya kalori dan lemak serta rendahnya serat. Jika masyarakat berlebihan dalam mengkonsumsi makanan cepat saji dapat menyebabkan penyakit, seperti obesitas (Gandjar 2007).

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin majunya teknologi dan pengaruh globalisasi dapat merubah pola pikir masyarakat lokal. Masyarakat lokal lebih bangga dengan budaya asing dibandingkan budaya lokal termasuk dalam hal pemilihan makanan. Masyarakat lokal lebih memilih makanan cepat saji dibandingkan makanan tradisional karena beberapa alasan. Beberapa alasan itu antara lain dalam hal efisien waktu, penyajian makanan lebih menarik, dan anggapan dari orang lain (prestise). Kandungan makanan cepat saji dapat membahayakan kesehatan karena kandungan gizinya rendah, berbeda dengan makanan tradisional yang kandungannya dibutuhkan oleh tubuh dan menyehatkan. 




Daftar Pustaka
Emilia, E., & Pendahuluan, a. (2009). Pendidikan Gizi Sebagai Salah Satu, 6(2), 161–174.
Gandjar, A. R. d. I. G. (2007). Metode Kromatografi untuk Analisis Makanan. Yogyakarta,
Pustaka Belajar.
Kompasiana (2013). "Bahaya Pengawet Makanan Bagi Tubuh." Retrieved 5 Mei, 2015, from
http://kesehatan.kompasiana.com/alternatif/2013/11/05/bahaya-pengawet-makanan-bagi-tubuh-608025.html.
Mufidah, N. L. (2006). Pola Konsumsi Masyarakat Perkotaan: Studi Deskriptif Pemanfaatan Foodcourt oleh Keluarga, (2), 157–178.
Rahmawaty, U., & Maharani, Y. (n.d.). PELESTARIAN BUDAYA INDONESIA MELALUI PEMBANGUNAN.




Kamis, 11 Juni 2015


Minggu, 05 Oktober 2014

Kudus, Antara Jateng - Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kudus, Jateng, mencatat, sekarang ini ada 17 tempat pembuangan sampah liar sehingga harus dicarikan jalan keluarnya supaya bisa bermanfaat bagi masyarakat.



Menurut Pelaksana tugas Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kudus, Didik Tri Prasetiyo, di Kudus, Senin, ke-17 lokasi tersebut tersebar di belasan desa.

Sejumlah desa tersebut, yakni Kelurahan Janggalan, Desa Ploso, kaliputu, Kelurahan Kajeksan, Kerjasan, Purwosari, Desa Krandon, Loram Wetan, Peganjaran, Gondangmanis, Margorejo, Jati Wetan, dan Jepang Pakis.

Jumlah tempat pembuangan sampah di masing-masing desa, katanya, bervariasi, karena ada desa yang terdapat dua lokasi pembuangan sampah liar.

Untuk mengatasi persoalan sampah liar tersebut, katanya, kepala pemerintahan desa setempat diundang untuk dirundingkan bersama guna dicarikan solusi yang tepat.

Berdasarkan data sementara, kata dia, timbunan sampah setiap harinya mencapai 615,5 meter kubik.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 521,1 meter kubik di antaranya diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, 12,9 meter kubik dibakar, dan 81,6 dilakukan pres daur ulang maupun dimanfaatkan untuk dibuat aneka kerajinan.

"Harapan kami, sampah liar tersebut dicarikan solusi sesuai kondisi daerahnya. Jika masyarakatnya memang memungkinkan untuk diberdayakan juga memungkinkan diajak untuk mengelola sampah secara mandiri," ujarnya.

Apalagi, lanjut dia, sebagian sampah tersebut masih bisa dimanfaatkan kembali dan memiliki nilai ekonomis.

Sebelumnya, kata dia, pemerintah sudah membuat proyek percontohan bank sampah di tiga lokasi, yakni di Perumahan Muria Indah di Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, Kudus, Desa Tumpangkrasak, Kecamatan Jati, Kudus, dan Kelurahan Melati, Kecamatan Kota, Kudus.

Jika masyarakatnya kesulitan mengelola sampah secara mandiri, katanya, memungkinkan pula untuk dibuatkan tempat penampungan sampah sementara sebelum diangkut oleh petugas untuk dibuang ke TPA.

Untuk menekan tumbuhnya tempat pembuangan sampah liar, katanya, sosialisasi kepada masyarakat akan ditingkatkan tentang pentingnya kesadaran membuang sampah pada tempatnya.

"Jika pengelolaan sampah secara mandiri tumbuh di masyarakat, maka usia TPA juga bisa diperpanjang, karena saat ini kapasitasnya mulai berkurang dan perlu perluasan lahan," ujarnya.
Upaya lain mengurangi sampah, Pemkab Kudus juga mengandalkan alat pengolah limbah (insinerator) yang memiliki kapasitas pembakaran sampah hingga 5 ton per hari.

Selain memaksimalkan alat insenerator, kompos, dan peran pemulung di TPA, pemkab juga berupaya mendorong masyarakat agar ikut berperan mengurangi tingkat produksi sampah dengan cara memisahkan sampah organik dan nonorganik, agar bisa didaur ulang oleh masyarakat.


Sumber: AkhmadNazaruddin.2014.www.antarajateng.com.5Oktober2014
Kawasan hutan Pegunungan Muria telah berubah menjadi lahan pertanian semusim dan pertambangan. Hal ini berpotensi memicu bencana. Karena itu, tata guna kawasan Muria di Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara, Jawa Tengah, perlu dibenahi.
Anggota staf Manajemen Bencana Yayasan SHEEP Indonesia (YSI) Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta, Husaini, Jumat (28/2), mengatakan, berdasarkan data yang diolah YSI, dari 69.812 hektar hutan di Pegunungan Muria, yang dimanfaatkan masyarakat untuk tanaman semusim seluas 3.952 hektar. Kawasan hutan itu dibuka dan dijadikan lahan ketela pohon, jagung, padi gogo, dan kopi.
”Kalau tidak ada pembatasan dan sikap tegas dari pemerintah setempat, pembukaan lahan hutan bisa semakin luas,” katanya.
Untuk itu, Husaini berharap agar pemerintah yang mengampu Pegunungan Muria kembali pada komitmen awal yang dibuat pada 2010, yaitu melestarikan dan menata kawasan hutan. Jangan sampai desain utama pelestarian Muria, yang diusung Pemerintah Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara, menjadi dokumen mati tanpa realisasi.
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Muria Hendy Hendro mengemukakan pihaknya akan kembali mendesak pemerintah di tiga kabupaten yang sudah menandatangani nota kesepahaman (MOU) pada 2010 untuk mengadakan aksi konkret.
Pada 2012, Forum DAS Muria merintis tujuh desa hayati di ketiga kabupaten itu melestarikan kawasan penopang DAS di Pegunungan Muria.
”Kalau tidak segera ditangani bersama, kerusakan Pegunungan Muria dapat kembali memicu bencana longsor dan banjir,” kata Hendy.
Pada akhir Januari hingga awal Februari lalu, banjir dan longsor terjadi di Kabupaten Jepara, Kudus, dan Pati. Hal itu terjadi akibat curah dan intensitas hujan yang tinggi, mulai 100 milimeter hingga 300 milimeter, serta kritisnya daerah hulu dan sungai-sungai di tiga wilayah itu.
Di Dukuh Kambangan, Desa Menawan, Kecamatan Gebog, longsor salah satu bukit di Pegunungan Muria menyebabkan 12 orang tewas. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan, di kawasan itu banyak lahan hutan yang gundul. Lahan hutan yang ada pun berubah menjadi lahan tanaman pangan semusim.
Bupati Kudus Musthofa menyatakan akan berkomitmen menata kembali tata ruang dan wilayah di Pegunungan Muria. Hal itu perlu didukung dengan kesadaran masyarakat setempat untuk melestarikan lingkungan.

Sumber: Kompas.2014.www.tataruangpertanahan.com.5Oktober2014
 
Pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menargetkan pembebasan lahan untuk pembangunan Waduk Logung di Kecamatan Dawe selesai akhir tahun 2014. Pada tahun ini Pemerintah Kabupaten Kudus menganggarkan dana Rp 34 miliar untuk merampungkan pembebasan lahan itu.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kudus Didik Tri Prasetyo, Jumat (22/8), di Kudus, mengatakan, dari 196 hektar lahan yang dibutuhkan, baru 56 persen yang sudah dibebaskan. Dengan dana Rp 34 miliar, pemkab akan membebaskan lahan 85,3 hektar.
Pemkab Kudus juga tengah mengajukan permohonan ganti lahan Perum Perhutani Unit I Jateng seluas 35 hektar untuk pembangunan waduk itu. Lahan berada di daerah Wonosoco, Tanjungrejo, dan Klaling.
”Kami tengah menunggu izin itu turun dari Kementerian Kehutanan. Sambil menunggu, kami terus mendekati sejumlah warga di Desa Kandangmas dan Desa Tanjungrejo yang belum bersedia lahannya diganti rugi,” kata Didik.
Sedianya, Waduk Logung akan dibangun bertahap mulai dari 2012 hingga 2018. Namun, pembangunan waduk itu terkendala pembebasan lahan sehingga pembangunan molor. Lantaran molor, dana pembangunan waduk itu membengkak dari Rp 400 miliar menjadi 700 miliar.
Waduk berkapasitas 13,7 juta meter kubik itu akan menampung aliran air Sungai Gajah dan Logung yang berhulu di Pegunungan Muria. Waduk tersebut juga berfungsi mengantisipasi banjir yang kerap melanda Kudus. Waduk dapat mengerem laju air Sungai Gajah dan Logung menuju Sungai Juwana di hilir sebesar 20 persen atau 228 meter kubik per detik.
”Kami juga akan memanfaatkan waduk itu untuk kebutuhan air minum dan irigasi seluas 3.800 hektar,” kata Didik.
Koordinator Forum Perkumpulan Petani Pengguna Air (FP3A) sistem irigasi Waduk Kedungombo, Kaspono, mengemukakan, Waduk Logung sangat penting bagi Kudus untuk mengatasi banjir dan menambah sumber irigasi persawahan.
”Di samping itu, banyak juga areal persawahan di Kudus yang belum memiliki sistem irigasi memadai. Melalui waduk itu, sumber air irigasi tidak hanya dari Waduk Kedungombo di Kabupaten Grobogan, tetapi juga dari Waduk Logung,” kata dia.
Di Jateng akan dibangun lima waduk baru dengan dana dari pemerintah pusat Rp 2,1 triliun. Waduk itu meliputi Waduk Gondang di Karanganyar, Pidekso di Wonogiri, Logung di Kudus, Matenggeng di Cilacap, dan di Kuningan Jawa Barat, yang bisa dinikmati warga Jateng.

Sumber: Kompas.2014.www.tataruangpertanahan.com.5Oktober2014 

Kamis, 02 Oktober 2014

Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, akan menambah ruang terbuka hijau seluas 5.000 meter persegi yang berada di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Kota, Kudus dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kudus Mas'ut, di Kudus, Rabu, mengungkapkan, pembangunan ruang terbuka hijau yang dibangun di Kelurahan Purwosari merupakan bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum melalui Ditjen Penataan Ruang lewat program pengembangan kota hijau (P2KH) sebesar Rp850 juta.

Selain Kabupaten Kudus, katanya, bantuan serupa juga diperoleh sejumlah kabupaten/kota di Jateng.

Informasinya, kata dia, di Jateng terdapat 15 kabupaten/kota yang mendapatkan bantuan pembangunan ruang terbuka hijau, sedangkan di Indonesia terdapat 60 kabupaten/kota.

Bantuan tersebut, katanya, diberikan kepada daerah yang mengikuti program P2KH yang ditandai dengan penandatanganan komitmen antara Bupati Kudus dengan Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum.

Kegiatan P2KH di Kabupaten Kudus selama 2012, meliputi sosialisasi P2KH, pembentukan komunitas hijau, pembentukan peta hijau, master plan, dan pembangunan fisik ruang terbuka hijau di areal seluas 5.000 meter persegi.

Tanah yang digunakan untuk ruang terbuka hijau, katanya, merupakan tanah yang tidak produktif.

"Dengan adanya program tersebut, tentunya akan menambah paru-paru kota dan ruang terbuka hijau di Kudus, sekaligus untuk menciptakan lahan interaksi sosial," ujarnya.

Ia mengungkapkan, semua program kegiatan P2KP tersebut, ditangani langsung oleh pusat, sedangkan daerah hanya terlibat dalam konsep perencanaannya.

Fasilitas yang ada di ruang terbuka hijau itu, meliputi beberapa elemen konsep P2KH, seperti taman, sarana air bersih, tempat pengolahan sampah, lampu hemat energi yang menggunakan solar sel, bangunan ramah lingkungan, komunitas hijau, dan sarana tempat parkir untuk sepeda.

Pembangunan ruang terbuka hijau tersebut, katanya, ditargetkan selesai pada 31 Desember 2012.

"Pengelolaannya, akan diserahkan kepada Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kudus," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kudus Hari Triyogo menyambut baik adanya bantuan pembangunan ruang terbuka hijau di Kudus.

Dengan demikian, lanjut dia, Kudus memiliki tambahan ruang terbuka hijau, setelah sebelumnya juga ada ruang terbuka hijau yang ada di Desa Rendeng, Kecamatan Kota.

"Kudus juga memiliki taman kota dan hutan yang tersebar di sejumlah tempat," ujarnya.

Sumber: Ciputaranews.2012.http://www.ciputranews.com.2Oktober2014